Google

Monday, September 3, 2007

Pengusaha Hotel Terancam Gulung Tikar,1.200 Kamar Kosong


MAKALE -- Pengusaha hotel dan penginapan di Tana Toraja (Taror) terancam gulung tikar. Setiap hari, sedikitnya 1.200 kamar hotel dan penginapan kosong. Hal ini terjadi lantaran semakin terpuruknya pariwisata di daerah dataran tinggi tersebut.Bupati Tana Toraja (Tator), J Amping Situru, mengakui hal tersebut. Namun Amping menuding, keterlibatan ini sebagai akumulasi dari berbagai persoalan. "Ini akumulasi dari persoalan yang sudah menglobal di tingkat nasional dan internasional," kata Amping, Jumat 31 Agustus.

Menurut Amping, semua pihak harus bertanggungjawab untuk membangkitkan gairah pariwisata di Toraja. "Kini banyak hotel berbintang di Toraja terancam gulung tikar alias bangkrut," ungkap Amping.

Padahal di era 80-an, jumlah wisatawan asing maupun lokal yang datang ke daerah itu melebihi jumlah penduduk Bumi Lakipapada itu sendiri. "Inikan jelas kejadiannya bukan di Tator, tetapi imbasnya sangat signifikan bagi daerah ini. Untuk Tator, saya jamin dari dulu hingga sekarang tetap kondusif," ucapnya meyakinkan.

Tak hanya itu, Amping juga berkilah tentang pelarangan penerbangan nasional ke Uni Eropa. Larangan ini pun dianggap berdampak langsung terhadap tingkat hunian hotel. Seperti yang dialami Heritage Hotel, di Rantepao.

Akibat pelarangan itu, 600 kamar di Heritage Hotel yang sedianya sudah siap menampung wisatawan dari Eropa ke Tator menjadi kosong. Penyebabnya, para wisatawan dilaporkan membatalkan kunjungannya ke Tator setelah adanya larangan terbang tadi.

Amping memaparkan, saat ini jumlah kunjungan wisatawan ke Tator tersisa lima persen saja. "Kami banyak berharap turis mancanegara yang melancong ke Bali bisa langsung datang ke Tana Toraja. Target kita cukup 10 persen saja, itu sudah cukup untuk membangkitkan kembali gairah pariwisata di daerah ini," harap Amping.


sumber:fajar.co.id
photo by inexography,ImanBalao

Prosesi Adat pada Hari Jadi Tana Toraja


PERINGATAN ke-760 Hari Jadi Kabupaten Tana Toraja yang juga merupakan hari ulang tahun (emas) yang ke-50, diisi pelbagai pentas seni. Salah satu adalah pentas "Marok", sebagaimana tampak dalam puncak acara, Jumat, 31 Agustus.
"Marok" merupakan prosesi adat istimewa sebagai ungkapan suka cita warga Tana Toraja. Ini adalah atraksi budaya terbesar di Bumi Lakipadada yang diperingati setiap tahunnya.
Beberapa peragaan budaya lainnya yang disuguhkan di antaranya tarian massal Pagellu. Kali ini, pesertanya terbanyak sejak ada pementasan Pagellu di Indonesia, yaitu 6.000 siswi SMP dan SMA yang ada di Kabupaten Tator. Ada juga ditampilkan Pasisembak Lidi yang dibawakan anak-anak muda Tator.
Masyarakat Tator sangat antusias mengikuti rangkaian peringatan hari jadi itu. Sejak pagi warga sudah tumpah ruah di lokasi pameran. Mereka berdesakan menyaksikan pagelaran prosesi adat Toraja hingga tuntas.
Acara di Lapangan Kodim 1414 ini dibuka sekitar pukul 08.30 Wita, ditandai dengan defile peserta yang terdiri atas 40 kecamatan. Termasuk juga kantor dinas dan badan. Acara budaya yang tak kalah menariknya adalah pengibaran bendera Tator.
Acara tersebut ditutup dengan pementasan artis ibukota dan lokal yakni Hary Mantong Indonesian Idol. Pementasan ini dilakukan pada malam, termasuk peragaan Musik Etnik Kontemporer.
Ketua Panitia, Y.S Dalipang mengatakan, peringatan HUT Tana Toraja kali ini lebih spesial jika dibandingkan dengan perayaan HUT sebelumnya. Pasalnya, kata Sekkab Tana Toraja ini, selain diisi oleh atraksi "Marok", panitia juga menampilkan pentas seni tari massal dan pawai drum band yang diikuti 30 kelompok.
"Ini memang lebih spesial, karena selain atraksi 'Marok' dan pentas Seni, kami juga menampilkan seni yang selama ini sudah hampir punah. Atraksi ini diperankan oleh masyarakat dari seluruh kecamatan yang ada di Tana Toraja," ujar YS Dalipang.
Bupati Tana Toraja, J Amping Situru menambahkan, Hari Jadi Toraja ini diperingati seluruh masyarakat dengan penuh rasa suka cita. "Namun, bukan berarti kita berhura-hura," tandasnya...


~fajar.co.id~
photoby~inexography

Sunday, May 20, 2007

PNS Toraja Ancam Mogok Kerja

MAKALE -- Pegawai Negeri Sipil (PNS) selingkup Pemkab Toraja mengancam melakukan aksi mogok kerja mulai Senin, 21 Mei. Ini sebagai bentuk keprihatinan mereka atas penahanan Bupati dan Wakil Bupati Toraja, J Amping Situru dan A Palino Popang. Bahkan, aksi mogok telah dilakukan PNS, termasuk para pejabat Pemkab, sejak Rabu, 16 Mei lalu.Memang, sejak Rabu itu, kantor bupati dan unit kerja Pemkab lainnya sepi. Kalaupun ada PNS yang terlihat di kantor-kantor, jumlahnya sangat terbatas. "Sebagian besar PNS mulai mogok kerja. Aksi mogok kerja besar-besaran akan dilakukan Senin nanti," kata seorang PNS di kantor bupati, Rabu lalu.
Kepala Badan Pengelola Keuangan Daerah (BPKD) Toraja, Ayub Toding Allo, mengakui, para PNS dan pejabat melakukan mogok kerja, sebagai bentuk keprihatinannya atas penahanan bupati dan wakil bupati. "Kami sebagai bawahan bupati dan wakil bupati prihatin atas musibah yang dialami bupati dan wakilnya. Sebagai bentuk keprihatinan itu, kami akan mogok kerja," katanya.
Berbeda dengan para guru, aktivitas pendidikan di Toraja sejak Rabu lalu itu tetap normal. Proses belajar mengajar tetap berjalan seperti biasa. Sampai Jumat kemarin, belum diperoleh informasi apakah para guru akan ikut aksi mogok tersebut.



enbee:Sekalian aje masuk penjara cama2.

Saturday, May 12, 2007

Amping Mendadak Dilarikan ke RS.

(Tiga Jam Setelah Konconee Di Tahan)...

Kondisi kesehatan Bupati Tana Toraja, J Amping Situru, dikabarkan menurun drastis setelah mengetahui wakilnya, A Palino Popang dijebloskan ke rumah tahanan (Rutan) Kelas I, Makassar, Rabu 9 Mei, lalu. Hanya berselang tiga jam setelah Popang dirutankan, Amping dilarikan ke RSUD Lakipadada Makale, Rabu malam, pukul 18:00 Wita.Kondisi yang sama dialami CL Palimbong, mantan Wakil Bupati Toraja periode lima tahun lalu. Palimbong yang
juga ditetapkan tersangka kasus dugaan penyalahgunaan APBD Tana Toraja 2003/2004 senilai Rp3,9 miliar itu, bersama Amping mendadak sakit.
Baik Amping dan Palimbong, Kamis kemarin, masih dirawat di rumah sakit. Amping dirawat di ruangan VIP lantai dua kamar 4 RSUD Lakipadada. Sedangkan Palimbong, dirawat inap di ruangan VIP kamar Melati I RS Elim, Rantepao.
Seorang perawat di RS Elim mengaku, Palimbong sudah dua hari dirawat inap. “Ia (Palimbong, Red) dirawat sejak Selasa malam,” katanya, seraya minta namanya tidak dikorankan.
Sejak dirawat di RSUD Lakipadada, kerabat dekat maupun pejabat Pemkab, ramai menjenguk Amping. Bahkan, sejumlah anggota dewan, ikut menjenguk orang nomor satu di daerah bergelar lepongan bulan itu. Di antara anggota dewan yang menjenguk Amping, yakni PS Panggalo SE dan Ir Richard Patta Ranteallo.
Kendati banyak penjenguk, dokter yang merawat bupati Toraja ini melarang tamu masuk ke ruangan perawatan. Para pembesuk hanya terlihat menunggu di luar ruangan. Mereka, di antaranya; Camat Buntao Rantebua, Lince Kondorura; Camat Rantepao, Anton Barrung; Camat Rindingallo, Yulius Tandiseno.
Selama dirawat inap di RSUD Lakipadada, orang dekat bupati mengakui, Amping hanya dijaga istrinya, Ny Edelheid Amping Situru.
Berbeda dengan Amping, CL Palimbong yang telah dua hari dirawat, selama dirawat jarang dijenguk pejabat eksekutif ataupun legislatif. Yang menjenguk Palimbong, hanya kalangan keluarga dekatnya saja.


enn bee:
ko waktu nikmatin duitna ga pada sakit sihh??

Wabup Toraja Shock

Kejaksaan Negeri (Kejari) Makassar kembali menempuh langkah tegas terhadap tersangka korupsi di daerah ini. Kemarin, giliran Wakil Bupati Tana Toraja Andrianus Palino Popang yang dijebloskan ke Rutan Kelas I Makassar.Mengetahui bahwa dirinya resmi ditahan, Popang yang tak lain mantan Sekretaris Kabupaten Tana Toraja ini, langsung shock. Tubuhnya lemas, bahkan nyaris pingsan. Untungnya, petugas kejaksaan bertindak cepat dan segera memeriksa kesehatan orang nomor dua di bumi Lakipadada ini.
Setelah kondisinya mulai membaik, Popang di minta oleh tim jaksa untuk segera ke Rutan,tanpa perdebatan yang panjang, Popang pun menuruti perintah para jaksa. Ia langsung meranjak dari ruang Kasi Pidsus Kejari Makassar, Amir Syarifuddin SH. Di ruangan ini, Popang memang sempat menjalani proses kelengkapan administrasi selama kurang lebih tiga jam.
Dengan pengawalan esktra ketat dari petugas Polsekta Makassar Barat, serta beberapa jaksa, Popang berjalan keluar sembari mendekapkan kedua telapak tangannya di dada, layaknya orang yang sedang berdoa.
Sebelum dijebloskan ke rutan, jaksa sebenarnya sudah menanyakan prihal kesehatan tersangka kasus dugaan korupsi APBD Tana Toraja senilai Rp3,9 miliar itu. Hanya saja, Popang menolak diperiksa dokter.
“Tidak perlu. Kondisi saya sudah pulih,” kata Popang yang didampingi penasihat hukumnya, Hasman Usman, SH dan Jhon Paulus, SH.
Tapi mengapa hanya Popang, bukankah Bupati Tana Toraja Amping Situru dan mantan Wabup Toraja CL Palimbong juga menjadi tersangka kasus ini? Menurut Aspidsus, kedua tersangka itu (Amping dan Palimbong) saat ini sedang sakit. Sehingga, berkasnya belum bisa diserahkan ke ke Kejari Makassar bersamaan dengan penyerahan berkas Popang.
Sikap Kejati Sulsel yang cukup kooperatif dengan Amping dan Palimbong, dinilai oleh aktivis antikorupsi, Jusman, SH, sebagai tindakan yang diskriminatif. Apalagi, kata Jusman, Amping dan Palimbong sudah dua kali dipanggil penyidik namun selalu beralasan sakit.
“Tidak ada alasan bagi Kejati Sulsel untuk tidak menahan semua tersangka dalam kasus ini. Jika perlu, jaksa harus melakukan penjemputan paksa di kediaman Amping dan Palimbong di Tana Toraja,” kata Jusman.


een bee:
"Kok baru ingat Tuhan bos??"

Wednesday, April 11, 2007

FORT ROTTERDAM


Ford Rotterdam is one of the best-preserved examples of Dutch architecture in Indonesia. This old fortress on Jl. Ujung Pandang, overlooking the harbour right in the heart of the city, is one of the principal attractions of Ujung Pandang. Rebuilt in Dutch style the fort now bears the rather more nationalistic title of Benteng (Fort) Ujung Pandang.

The fort's big La Caligo Museum consists of 2 buildings, one covering ethnology and the other history. See the assortment of exhibits including rice bowls from Tanah Toraja, prehistoric kitchen tools from South Sulawesi, musical instruments from Manado and various traditional marital costumes. The gift shop sells beautiful Bugis sarung of pure silk.

It's open Tuesday to Thursday 0800 - 1400 pm., Friday 0800 - 11.30 pm., Saturday & Sunday 0800 - 12.30 pm. Monday and holidays closed. Entrance is 7500 Rp. adults, 2500 Rp. children (maybe more for now).

Wednesday, March 14, 2007

RELIGION CEREMONIES


Rambu Solo’ is a series ceremonies for the dead, and is also called Allu Rampe Matampu’ meaning Ritual of the west, the direction which is connected with death.

Death is a sad event but for the people of Toraja it is also an occasion for happiness, a celebration of the passage of the soulk to puya, the land of Souls, and ultimately to reach the level of becoming a deity.

The most important ceremony in the life of Torajans, Rambu Solo’ is a series of ceremonies celebrated by the kinship group and participated by the community in a festive atmosphere.

There are several types of funeral ceremonies depending on the status of the dead, his or her social class and wealth, as well as the area. The higher the castle, the more elaborate are the ceremonies. Those of the lowest tana’ kua-kuatana’ bulaan hold two different rituals and sacrifi many buffaloes and pigs. The ceremonies last several days and they are highly publicized and attract many visitors to the area. or slave class, have very simple rituals while the nobility

Since the many offerings received help the soul of the dead to reach the status of deity, the funeral ceremonies can be very expensive to the family and it can take place months or years after death.

The ranbu solo’ besides providing for the soul of the dead, is meant to signify the social status of the family and is an opportunity to repay favous and gifts received by the dead person during his or her lifetime. One most important function of these ceremonies is the division of the inheritance, for whoever, son or daughter, contributes the most buffaloes for the sacrifice at the funeral feast, he or she is entitled to a greater share of the inheritance.

As wealth and power are needed to reach Puja, Torajans aspirate to accumulate wealth and power during their lifetime so that they can hold a death ritual befitting their status.

Accrding to Toraja beliefs, a dead person is considered a sick person until the death rituals begin. Called tomasaki ulunna, meaning one whose hesd sick, the corpse is kept in the special place in the house reserved for that purpose. Meanwhile. The soul departs through the head and wanders in the village. Still the dead is regarded as asick person and is treated as such and laid with the head to the west. Meals are placed by the side of the corpse, and neighbours and relatives came calling, bringing betel nuts and tobacco.

There is nothing unusual about the family sleeping in the same rooms as a corpse. Any decaying smell is ignored althougth now there are more cases of embalming or enclosing the body in a temporary coffin, with a bamboo cylinder extending from it like a narrow chimney to carry the smell out of the house.

This is the time for the funeral prepations and the kinship group start to save money and collect rice for the death ritual. It is scheduled when all relatives can be a matter of days, weeks, months and even years.

The “sick” person becomes tomate really ead when the rituals begin. On the ma’karu’ dusun day, sacrifice of a buffalo indicates the real death. Its innards are cooked in a bamboo container and offered with palm wine to the dead.

From this day, the relatives start their mourning, eating no meat or rice. The body is moved from the southern room to the centre room and laid wuth the head pointing south. As this is a position for the dead, it is taboo for the living to sleep with their heads pointing south.

For the nobility, this is the first ritual for the dead and can last for seven days. Many buffaloes and pigs are sacrifieced and the corpse is symbolically wrapped and put into a temporary bangka, coffin, hich is then placed in the the western part of the Sali or centre room.

Some tme passed befor the second rituals is held. Preparations include the construction of temporary houses around the rante or ceremonial field. A simbuang batu, ceremonial stone and palm tree are erected as aplace to tie the buffaloes, a bala kayan, meat tower and lakkian, a tower for the dead in the shape a tongkonan house are built.

When all is ready, the corpse is taken out of the temporary coffin, and is hung for a few days from the ceiling of the house before being removed to the base of the rice barn, opposite the house. Here it is wrapped in a decorative funerary sack by the death priest.

Then it is time for the funeral procession with the wrapped corpse carried in Tongkonan-shaped bier with widow or widower following in a chair covered with a black canopy. The effigy made in the image of the ded, is accompanied by gong beaters, war dances and buffaloes. The mouerners dressed in black, hold a red length of cloth, which extends from the bier, over their heads.

RELIGION

Aluk Todolo, the ancestral religion, is still followed by a small minority of Torajans today as more and more are converting to Christianity.

According to 1981 statictics, the majority of the people of Toraja are Protestan, about 66%; followed by 12% Catholics,about 7% Moslem and only 15% are adherents of Aluk todolo. Still most Torajans follow the traditional customs of their ancestors.

Officialy recognized as related to Hindusm, Aluk Todolo has a panthem of gods and the supreme God is Puang Matua (the old lord) who also the Creator. It is he who unified all gods, created mankid and all other creatures.

According to the Toraja myth of creation, before there were gods, there was heaven and earth. The universe created the gods and Heaven and Earth were the first parents of Pong Tulak Padan (he who supports the Earth), Pong Banggai Rante (he whose plain is large) and Gaunti Kembong (selfexpanding cloud). Together they grew up and formed the trinity and created the sun, moon and the stars.

They separated to become Lords of the underworld, the earth, and the upperworld. Gaunti Kembong, the lord of the upperworld, removed a rib who became Usuk Sang Bamban (the one special rib) who grew up and married Simbolong Manik who emerged from stone in the east. From their union, Puang Matua was born.

As in the upperworl, the earth is supposed to have a head (ulu), which faces north (daya, rekke) and a tail (ikko’) which faces south (lo’sau,) east(lan, tama) is for sunricse while west (diong, rokko) is linked with sundown. Based on this, north and east are considered the sphere of life and south and west of death. By this same nation, the north and east are the domain of the gods, protectors of plants, domestic animals and human-life, while south and west is where the souls of thedesd reside until the completion of the direction of southwest.

From the land of the souls puya, the ancestors after completion of the death rituals, are deified and enter heaven via a palm tree. As wedding ceremonies.

The sacrificial ritual of the east or ranbu tuka, which mans “smoke ascending” is held on the east or northeast of the tongkonan and the priest faces east.

Rambu solo’ “smoke descending” is the sacrificial ritual of the west and is held at sundown, on the west side of the house.

The rituals in this category are those for the dead, aluk tomate perfomed by the tomebalun such as offering to the souls, slaughter of animals for the dead and the wrapping of the corpse. The tomebalun or death priest is usually shunned and only visits homes when there is a death in the family.

Observance of the religion insolves the performance of various aluk ceremonies and avoiding certain taboos.

HISTORY


The real name of Toraja was Tondok Lepongan Bulan Tana Matarik Allo which means “ a country of one administration, religion and culture as rounds as the moon (bulan) and the sun (allo).”

The Toraja came into existence in the 17th century, coined by the Bugis of Luwu from To-ri-ja meaning to (people), ri (from), aja (inner west). Another version says it means “men of the mountains.”

According to same sources, the early Torajans migrated from southeast Asia, probably Annam beginning in 3,000 B.C. According to tradition, the ancestors came in eight lembang (canoes), from the mythical islands Pongko’,

Somewhere in the southwest and up the Sa’dan river, setting in what is now the Enrekang area. As new waves of migration occurred, the earlier groups were forced to retreat into the mountains where they wandered under the leadership o Puang Pararrak. There were 40 arruan (groups), coordinated under a Tangdino. Then came the Tomanurun, meaning people descended from heaven, led by Tamborolangi’ who introduced new agricultural method, the caste system and the practice of the seath rituals.

The early settlers coming in boats set the patern of the prowshaped roofs of the tongkonan houses as they converted thir boats into houses, having no place to live.

A legend tells of the tomanurun, who were celestial beings and descended on the mountain peaks. One of them, Tomanurun Tamborolangi’,lived in kandoro. He had son, Puang Sanda Boro who ruled the southern part of Padang di Puangngi and two sons. One of them, Lakipadada, went in search of eternal life and arrived in Gowa (the mighty kingdom in the south) and so impressed the king that he was given the princes in marriage. They had three sons who grew up to each rule Gowa, Toraja and Luwu. They were known as the Tallu Botto (top Three).

Legend and actual history seem to be interwoven as the royal regalia kept in Kaero Sangalla are believed to belong to Patta Labantan, the first son of Lakipadada and Karaeng Tarallolo, who ruled Toraja.

There seemed to be contacts between Toraja and java in the 15thth century, war broke out with Bone. Toraja was defeted by Aru Palaka of Bone but five years later the Torajans resisted and defeated the intruders. Islam was introduced by coffe and slave traders, but only a small part in the south, Duri, was converted. century, through traders. Also with the Bugis who sold Indian cloth, Dutch coins and Porcelain. However , there was always some friction and in the 17

Several years later a peace treaty was signed.

The Dutch first arrived in Toraja in 1905 from the north, during a period of internal conflict. Under Pong Tiku, the Torajans fought a losing battle against the superior forces of the Dutch and two years later Toraja fell under the rule of the Dutch East Indies government. Pong Tiku who was captured, was executed in Rantepao.

Not long sfter, in 1913, protestant missionaries arrived, followea by the Catholics in 1937. Between the Dutch and Dutch colonial government and the Missionary Alliance of the Dutch Reformed Church, many changes were brought about in education, traditional life and political structure.

Toraja has gone through several administrative changes, and is now administered by a bupati (district head) posted in Makale who reports to the governor of South Sulawesi, as it is a part of this province.

THE PEOPLE


The population of Toraja is about 332,000 and it has a high rate of emigration by high school graduates seeking further education or jobs in the more urbanized areas of Sulawesi or the more develoved islands of Indonesia.

Population density is about 92 persons to a square km, most of whom are engaged in agriculture. All farms belong to smallholders. Rice is the main crop, and secondary crops are corn, peanuts, soyabean, cassava, sweet potatoes, vegetable, coffee, cloves, nutmeg, vanilla and fruit. The mountain grown coffee is exellent and alsowellknown is the passionfruit or marqisa which is processed for its jice, bottled and exported. Palmwine (tuak, or in Toraja ballok) which is found throughout South Sulawesi, is very common in Toraja being drunk in the ricefields as well as at festivals. It ranges from seet to sour, the latter having a red colour from a bark additive. Its pink foam can be seen bubbling from the long bamboo tubes carried by villagers going to rituals or to market. Fishery and animal husbandary are other means of lifelihood in this landlocked district.

The Torajans are belived to belong to the same Proto-Malay groups as the Dayaks of Kalimantan and the Bataks of Sumatra. However, there are many similarities ethnologically between them and the people of ancient Annam, from where they could have originated, migrating to the seas in their sailing boats which set the pattern for their tongkonan houses.

From early times, the society was divided into classes with the nobles at the top of the social structure and the slaves, who were either hereditary or enemies who, were captured in the battle, lowest ranking.

The caste system was widely practiced in Toraja and consiste of :

Tana’ bulaan referring to the noble class who functioned as adapt chiefs using titles such as Puang, siambe’ and ma’dika.

Tana’Bassi, the lower noble class of assistant adapt or traditional chiefs or members of the community councils.

Tana’ karurung the commeners, among them priests.

Tana’Kua-kua, the lowest class of slaves and workers, including the death priests or tomebalum.

Still practiced to same extent today, the caste system is a adhered to during traditional rituals, particularly the death ceremonies for which no one can aspire to rites intended for a higher caste.

The social structure allows equals right for men and women, especially in inheritance for which neither sex nor age is of any consideration. Division of inheritance dep[ens wholly on service to the deceased during his/her lifetime and the and the contributions made by members of the ramage, kinship group at the death ceremonies.

Hiltops were considered sacred by the Torajans as the first ancestors descended there, and village were formerly built on the summits. Fortified walls surrounded the villages, providing a defensive shield against enemies. However in the early parts of this century when Toraja came under Dutch rule, the people were ordred to move to more accessible valleys and plateaux. The village complex consist of separate farms, surrounded by paddyfields, the rante where the rites for the dead are held and the rocky clifft where the burial caves are located.

The village is further divided into two parts, high and low, each one forming a ceremonial bua’ circle unit.

Buffaloes represent a status symbol used chiefly for ceremonial purposes and are not considered as draft animals. They are slaughtered for sacrifice during the funeral ceremonies and the meat eaten. Pigs and chickens are also slaughtered and eaten at ceremonies, such as funerals and the consecration of new tongkonan.

As the death rituals are the most important ceremony in a person’s passage of life, wealth and power are important to attain the status needed to enter Puya (Land of Soul). So Torajans aspire to accumulate wealth through lolo tananan (plants), lolo patuan (animals) and lolo tau (children) which are the elements necessary to attain the power for the funeral ceremony.

The Torajans speak an Austronesians language related to that Bugis of South Sulawesi. Referred to as the Sa’dan Toraja Language, it is divided into thre dialects; the Makale-Rantepao dialect of east Toraja, in the west Saluputti-Bonggga Karadeng and in the south Sillanan-Gandang Batu. The language as used by the ritual priests differ from those used by the ordinary people and are sometimes diffiocult to undersatand.

Since Bahasa Indonesia is the language of instruction and administration it is understood and spoken by all, and English is becoming a popular second language in schools.

In spite of improved education and migration ti other parts of the country, the people of Toraja remain tid to their ramage and kinship groups, retuning for funerals and, if they should die away from their homeland, every efforts is made to return then for the ;last funeral rites.

THE LAND


Tana toraja or Toraja Land is located in the northern highlands of the province of south

sulawesi, the south western peninsula of indonesia’s fourth largest islands, Sulawesi formerly called Celebes.

A beautiful land of high mountains, lush gren valleys and rivers, the rugged terrain has kept the people in isolation till the beginning of this century, thereby preserving their uniqe traditional culture and way of life.

Outside ifluences and conversion to Christianity have brought a slow change in Tana Toraja where the people cling to their cultural heritage and their ancestral religion of Aluk Todolo.

Colourful ceremonies are part of traditional life, the best known of which are the feasts for the dead.

Traditional Tongkonan houses of the Torajans are part of the picturesque scene, with their roofs rising on both ends like the prows of ships, which according to these highlands.

A friennly, hospitable people, the Torajans welcome visitors to their ceremonies.

Of special interest in Tana Toraja are the cliff or hanging graves, hollowed-out caves in mountains sides where the dead are interred even to this day, with effigies standing at the entrances on suspended balconies.

Rantepao, the centre of the Toraja tourist trade has been developed to cater to foreign visitors with accommodation available in small, comfortable hotels. The Torajans practice traditional crafts and weaving and perfom folk dances for tourists.

The national language, Bahasa Indonesia, is spoken by almost everyone and English by those connected with the tourist trade.

Tana Toraja spread over a total area of 3,630 squre kilometers and its district capital of Makale l;ies 310 kms from the provincial captal of Ujung Pandang, an eigth-hour drive along coastal and mountain roads.

A mountainous area, the lowest elevation is 300 metres abavo sea level and the higthest peak reaches 2,884 metres. The two major towns, Makale and Rantepao, are located at elevations of 775 metres.

Tropical in vegetation and climate, the temperature varies from between 26C AND 14C and humidity is an average 80%. The rainy season is from December to March and the dry season, the best for tourists, is between June and September. There are occasional rains during the tanstional periods, between the two season.

Tana Toraja is reached from Ujung Pandang by well-paved roads via Pare Pare, a coastal town and the inland river town of Enrekang. From here the road winds around steep mountain slopes, covered with bamboo forests. Across the Sa,dan river is the entance to Tana Toraja, marked by a boat-shaped arch.

Rice is cultivated in he valleys and plateaux and coffe and clove trees cover the mountain slopes, clos to the small villagres which dot the countryside.

The district capital of Makale is the administrative centre, with Rantepao, the centre of tourism, 18 kms further north.

While the main roads are well paved, the lime stone in the mountains and constant rains destroy parts of the side roads from time to time. To reach some of the places of interest, jeeps are a more advisable means of transport or walking through the beautiful countryside, to enjoy the tranquil surroundings of the villages, paddy fields, groves of coffe and clove trees, and vegetable gardens.

The villages are a combination of small wooden and brick houses and the tall tongkonan traditional houses of two stroreys, each with a similarly shaped rice granary standing opposite it.

The kabupaten (districts) of Tana Toraja is divided into 9 kecamatanbupati appointed by central government and assisted by a council of local representatives. (sub-districts) and 65 villages with the districts herd or

Mitos, Legenda, dan Dunia Magis di Tengah Indahnya Alam Tana Toraja


KONON, kata sebuah legenda, ketika kehidupan di “Bumi” masih diatur langsung dari “Langit” oleh Puang Matua (Tuhan, Sang Pencipta), semua aktivitas keseharian di bumi berlangsung aman, tenteram, dan damai.Gemah ripah loh jinawi, kata orang jawa.

Bila ada masalah yang muncul dalam perikehidupan sehari-hari diutusla wakil penduduk Bumi ke langit menemui Puang Matua untuk meminta nasihat. Jalur transportasi-komunikasi yang digunakan adalah Eran diLangi,: sebuah tangga menjulang tinggi menuju langit yang sengaja diciptakan Puang Matua. Lalu, setelah Puang Matua bersabda atas persoalan yang dibentangkan ke hadapan-Nya, wakil penduduk Bumi itu pun turun lewat tanggga yang sama dan menyampaikan segala isi pembicaraanNya dengan Puang Matua kepada sekalian pendudukBumi untuk kemudian dijadikan pegangan hidup.

Selama beberapa generasi ruitinititas ini berjalan lancer. Sampai pada suatu ketika malapetaka itu muncul, berawal dari keinginan keluarga yang berniat mengawinkan anak mereka sesaudara kandung. Konon, keinginana itu dipicu oleh sikap pelit yang telah mereka kumpulkan kelek diwariskan kepada orang lain.

Karena keinginan ini tidak umum, diutusla anak lelakinya menemui Puang Matua di lagit untuk meminta petunjuk.Tak ada kata setuju dari Puang Matu. Akan tatapi, dasar manusia, seetiba di Bumi sang anak justru memutarbalikkan isi pesan Puang Matua, sehingga ia akhirnya “direstui” warga bumi untuk menghawini adik kandungnya sendiri.

Puang Matua pun marah. Penduduk Bumi kena tulah. Ancaman wabah dan kelaparan terjadi di mana-mana. Sesembahan dan ritus yang digelar oleh penduduk Bumi ditampik-Nya.

Di puncak kemarahanNya puang Matua merobohkan Eran diLangi’, sekaligus menandai putusnya jalur transportasi-komunikasi langsung antara Bumi dan Lngit. Sis-sia anak tangga menuju ke langit itu berkellimpangan jatuh ke Bumi, lalu membentuk bukit-bukit batu yang kini membentang dari wilayah Desa Rura kabupaten Enrekang hingga Rantepao di Tana Toraja.

TENTU saja itu semua hanya legenda. Akan tetapi, dalam kepercayaan asli masyarakat Toraja yang disebut Aluk Todolo, posisi legenda Eran diLangi’ tadi ternyata secara filosofis memiliki benang merah yang kuat dengan ceruta tentang asal-usul aluk itu sendiri.

Disebutkan bahwa ketika penghulu adat (tomina) mengajak penduduk naik ke langit untuk mencari aluk (baca:ajaran dan tata cara peribadatan), ia dihadapkan pada pertanyaan: jalan manakah yang harus ditempuh karena kini sudah tidak ada lagi tangga ke lagit?? Sejenak kemudian ia teringat pada ucapan pada leluhur bahwa tangga ke langit itu sama artinya dengan “pinggir bibirmu dan ia ada di ujung lidahmu”.

(Nakua tomina: Kendekki’ langnggan langi’ undaka’ Aluk. Na umbamo lakupolalan langngan ba’tangna langi’ na tae’o tu Eran diLangi’?? Apa nakua to diponene’: Samannamo Eran diLangi’ tu randan dipundukmu, samanamo enda’ dideata tu dara’ dilengko lilamu....)

Selain percaya pada Puang Matua sebagai dewa tertinggi yang mengatur kehidupan di jagat Bumi, penganut kepercayaan Aluk Todolo juga percya pada berbagai kekuatan yang ada di sekelilingnya. Karena itu, ada berbagai upacara. Namun, pada dasarnya upacara-upacara itu terbagi dalam dua kelompok besar: upacara kegembiraan (rambu tuka’ ) dan upacara kesedihan (rambu solo’).

Dalam setiap upacara selalu ada unsur-unsur magis. Sebutla pada upacara ma’bugi yang konon menggunakan siklus lima tahunnan. Dalam upacara untuk mengusir wabah penyakit ini, kadang-kadang disertai ritus yang mereka sebut ma’terre.

Dalam ritus ini, dukun atau orang pintar yang bertindak sebagai pemimpin upacara menghapalkan mantra-mantra, lalu mereka yang terserang wabah biasanya kerasukan atau trance. Di tengah arena ditegakkan bamboo yang hanya dipegang oleh beberapa orang. Lalu, orang yang kerasukan tadi disuruh naik dan setiba dipuncak turun dengan posisi kepala kebawah. Sesampai di tanah, pemimpin upacara menancapkan pisau ke kening si “sakit” hingga berdarah-darah.

“Anehnya, begitu luka tadi diusap dengan daun tabang ( pepohonana sejenis perdu yang banyak tumbuh di kaki gunung di Tana Toraja), luka tadi langsung menutup. Tak ada bekas luka sama sekali dan orang tadi kembali sadar,” kata Ambe’Ato’, penduduk desa Durian, kecamatan Makale. Dia mengaku beberapa kali menyaksikan peristiwa “langkah” itu di tengah-tengah para pemeluk kepercayaan Aluk Todolo yang tinggal di sekitar Gunung Ke’pe’, masih dalam wilayah kecamatan Makale.

Kisah yang lebih seru adalah apa yang disebut “roh tebang”. Biasanya itu terjadi pada malam hari. Orang “sakti” pemilik ilmu ini secara fisik tengah tidur, tetapi rohnya terbang melanglang buana. Masyarakat percaya karena apa yang ia lihat selama ‘terbang’, lalu ia ceritakan pada pagi harinya, biasanya benar-benar terjadi. Misalnya, ia mengatakan bertemu roh sesorang yang dalam waktu dekat akan meninggal, ternyata beberapa hari kemudian terdengar nberita ada orang meninggal dunia; orang dengan ciri-cirinya seperti yang ia ceritakan.

“Memang sulit dipercaya ,tetapi susah juga untuk tidak mempercayainya karena biasanya apa yang ia katakan terbukti kebenarannya. Akan tetapi, sekarang orang yang punya kemampuan seperti itu sudah tyak perna lagi terdengar keberadaanny,”;kata Mangeka,yang semasa kecil masih sempat hidup di tengah-tengah segala sesuatu yang berbau magis dan mistis.

LEPAS dari itu semua, kalau kita datang ke Tana Toraja dan masuk ke dalam kehidupan masyarakat yang masih menganut kepercayaan Aluk Todolo, mitos dan legenda adalah bagian dari keseharian mereka.

Namun, dibalik itu semua tersimpan kearifan yang luar biasa. Paling tidak itu bisa disimak dari “petuah-petuah” yang mereka sampaikan, seperti dikatakan oleh salah seorang putra Tato’ Denna’ salah satu pemangku adat Aluk Todolo dari Siguntu’ n Makale:”Manusia itu memang aneh. Coba saja tengok, kaki kita yang terantuk batu, eh....mulut yang mengaduh...”

Sunday, January 14, 2007

Toraya Mamali Targetkan Transaksi Rp10 Miliar


MAKALE--Panitia Festival Toraya Mamali 2006 menargetkan transaksi sebesar Rp10 miliar selama acara itu digelar, 25-30 Oktober di Tana Toraja. Nominal transaksi itu, meliputi transportasi, akomodasi, konsumsi, dan belanja-belanja peserta selama berada di Tana Toraja. Hal itu diungkapkan Ketua Seksi Pengerahan Massa dan Promosi Toraya Mamali,target tersebut merupakan target paling rendah yang ditetapkan panitia.

"Kalau masalah nilai transaksi, berarti kita berbicara masalah jangka pendek. Harus diingat bahwa Festival Toraja Mamali ini merupakan investasi jangka panjang. Jangan dilihat sekarang, tapi lihat dampaknya tiga atau empat tahun ke depan. Sebelumnya kita menargetkan Rp15 miliar, tapi tak usah jauh-jauh, cukup Rp10 miliar saja.

Sekadar diketahui, hingga kemarin, peserta Toraya Mamali yang tiba di daerah Lepongan Bulan itu sudah sekitar 10 ribu orang. "Kita target sebelumnya memang 27 ribu orang. Tapi, tak usah kita muluk-muluklah. Sebanyak 15 ribu orang saja, itu sudah lebih dari cukup," tambahnya.

Berdasar pantauan Fajar, kemarin, sejumlah hotel di Tana Toraja sebagian besar terisi. Hal itu juga dibenarkan Nico Pasakah yang juga tercatat sebagai panitia lokal Festival Toraya Mamili. Menurutnya, okupansi hotel di Tana Toraja satu pekan terakhir mencapai 80 persen. Padahal sebelumnya, hanya 40 persen. "Jadi dua kali lipat naik," sebut Nico.

Sementara itu, Bupati Tana Toraja, Johanis Amping Situru mengharapkan, keberadaan even Toraya Mamali ini mampu membangkitkan kembali geliat pariwisata di Tana Toraja yang merupakan ikon pariwisata di Sulsel.
Amping mengatakan, jumlah masyarakat Toraja yang berada di perantauan dan tergolong sukses sebanyak 1,5 juta jiwa.

Jumlah itu, kata dia, jauh lebih besar jika dibandingkan jumlah warga Toraja yang ada di Tana Toraja yang hanya mencapai 450 ribu jiwa. "Inilah yang harus dijadikan taget agar tercipta wisata mudik ke Tana Toraja. Makanya, muncullah ide Toraya Mamali 2006," ujar Amping.

Dikonfirmasi terpisah, Ketua Umum Festival Toraya Mamali, J.L. Parapak mengatakan, festival ini merupakan gerakan untuk mewujudkan peningkatan produktivitas masyarakat Tana Toraja di sektor pertanian, perikanan, dan khususnya di sektor pariwisata. "Kami menginginkan festival ini akan berujung pada hal yang konkret. Dan itu bisa kita lihat nanti hasilnya pada beberapa tahun ke depan. Mari kita sukseskan festival ini sebagai bentuk peningkatan budaya kita di Tana Toraja," harap Parapak.

Amping: 'Toraja Mamali' Jangan Bebani Masyarakat


* Panitia Pusat Tanggung Seluruh Dana

BUPATI Tana Toraja, Johanis Amping Situru, mengingatkan panitia pelaksana 'Toraja Mamali', agar melaksanakan kegiatan akbar ini tanpa membebani masyarakat Toraja. Sesuai kesepakatan awal, kata Amping mengingatkan, seluruh pembiayaan kegiatan ini ditanggung panitia pusat."Jadi, kegiatan ini tidak membebani masyarakat, termasuk daerah,
karena keseluruhan dananya ditanggulangi panitia pusat," kata Amping saat
menghadiri rapat panitia lokal "Toraja Mamali" di ruang pola kantor
bupati, Rabu 18 Oktober, kemarin. Rapat ini dihadiri para panitia
lokal, di antaranya Sekab Toraja, YS Dalipang, Dandim 1413 Toraja, dan seluruh
kepala dinas sejajaran Pemkab Toraja.

Menurut Amping, perhelatan akbar yang direncanakan menjadi agenda
tahunan masyarakat Toraja ini, pelaksanaannya tidak meninggalkan kesan
buruk bagi masyarakat. Apalagi, tandas Amping, daerah tidak mengalokasikan
dana "Toraja Mamali" dalam APBD.

"Sejak awal telah digariskan, Pemkab tidak akan mengalokasikan dana
dalam APBD induk dan APBD perubahan untuk 'Toraja Mamali'. Sebab, ini
sama saja membebani masyarakat Toraja," katanya.

Untuk diketahui, dalam rapat ini panitia lokal terungkap, bahwa dana
yang dibutuhkan panitia lokal mendukung pelaksanaan "Toraja Mamali"
mencapai Rp2 miliar.

Dari prediksi anggaran yang dibutuhkan panitia lokal itu, panitia
pusat telah mengucurkan dana senilai Rp285 juta. "Jadi, masih banyak
kendala dana yang dihadapi panitia lokal untuk mempersiapkan segala
sesuatunya, untuk kelancaran hajatan 'Toraja Mamali'," kata YS Dalipang, ketua
panitia lokal.

Berbagai item kegiatan yang akan dilaksanakan panitia lokal,
membutuhkan dana besar. Misalnya, anggaran untuk penari, karnaval kendaraan hias, gerak jalan santai, pengadaan gendang, dan sewa papan untuk panggung dan pondok di lokasi kolam renang Makale, serta pengadaan pakaian tari.

"Kita harapkan panitia lokal bisa mengucurkan sisa dana, karena panitia
lokal sulit bergerak kalau dananya belum ada," kata Dalipang.

Toraja Mamali 2006(Sule Sang Torayaan-Rindu Toraja)

Tana Toraja, atau yang dapat diartikan sebagai 'daratan orang terhormat', dikenal oleh dunia bukan saja karena kebudayaan-nya yang unik, orisinil dan sarat akan keindahan seni tetapi juga karena keaslian, keasrian dan keindahan alamnya yang selalu dapat memukau hati para wisatawannya yang berkunjung.
Sampai saat ini masyarakat dunia masih dapat menikmati turunan-turunan budaya yang diwariskan oleh nenek moyang suku Toraja ini, seperti bentuk-bentuk kebudayaan atau kesenian dari yang bersifat upacara kematian (rambu solo) sampai kerajinan ukir, pahat dan manik-manik dan juga tarian-tarian serta musik-musik khas Tana Toraja.Warisan ini tentunya menjadi sorotan perhatian dan tanggung jawab bagi masyarakat suku Toraja saat ini, terutama dengan adanya tantangan globalisasi ataupun modernisasi, ke-tidaksiapan melangkah menghadapi tantangan-tantangan tersebut tentunya dapat mempertaruhkan kelestarian alam, budaya Toraja dan juga kualitas sumber daya manusia Toraja itu sendiri.

Toraya Mamali' adalah program spontanitas seluruh lapisan masyarakat Toraja, baik yang tinggal di Toraja maupun di luar Toraja yang peduli terhadap kampung halaman, untuk bersama-sama kembali menyatukan visi dan misi demi membangun Tana Toraja atas dasar tanggung jawab dan komitmen bersama.

Toraya Mamali' dicanangkan sebagai program kerja lima tahun (2006-2010) dimana akan diwujudkan melalui konsep program kerja yang konkrit dan nyata yang khususnya akan diarahkan kepada bidang pendidikan, pertanian dan pariwisata. Pada tahun 2006 ini, sebagai awal perjalanan program ini, selama lebih dari satu pekan (19-29 Oktober 2006) akan diselenggarakan rentetan acara yang menyentuh ketiga bidang tersebut di beberapa titik pusat di Tana Toraja. Termaksud di dalam program acara ini antara lain adalah: pameran tenun atau batik, ukiran atau hasil kerajinan tangan, kontes kerbau unggul, pameran hasil pertanian unggul, seleksi guru dan pelajar teladan, sepak bola santai dan gerak jalan santai. Juga pada puncaknya nanti yaitu tanggal 28 Oktober 2006, Toraja akan diwarnai dengan Karnaval Budaya Toraja (pawai kendaraan hias, pemakaian baju khas toraja, permainan musik tradisional,dll), Tarian Toraja Massal yang akan melibatkan lebih dari 1000 orang penari, dan peresmian PLAZA TORAJA (Monumen MONJUANG: Monumen Perjuangan).